PUASA UNTUK MEREKA

     Pagi itu, udara tak biasanya begitu segar dan matahari pun masih malu-malu untuk terbit, Aku pun bersemangat dan bergegas menyiapkan barang-barangku, rencananya siang itu  aku akan pulang kampung. Meskipun bulan Ramadhan sudah memasuki hari ke 3, tetapi aku tetap menyempatkan untuk pulang, rasanya hati ini sudah ingin sekali memeluk Ayah dan Ibu.

     Setelah semuanya siap, Aku pun berpamitan kepada Ibu kostan, lalu bergegas pergi menuju jalan raya. Sambil menunggu bus yang akan mengantarkanku ke Bandung, aku pun menyempatkan membeli sedikit buah tangan untuk keluargaku di rumah.

     Bus yang aku tunggu telah tiba, aku pun naik dan duduk bersebelahan bersama penumpang yang lain. Aku bersandar ke kursi dan beristirahat sejenak sambil menikmati perjalanan menuju kampung halamanku. Tak terasa aku pun tiba di terminal bus dan berjalan ke sebelah utara sambil menunggu tukang becak yang akan mengantarkanku ke rumah Ibu.

     Salah seorang tukang becak menghampiriku dan berkata :“Neng becak…?” dan aku pun menjawab :” Iya bang”. Aku naik dan duduk sambil menikmati perjalanan, Angin lembut menerpa wajah dan hijabku kicauan burung melengkapi kenikmatan di  sore itu. Namun kenikmatan itu tak berlangsung lama, keheninganku terusik dengan suara kunyahan dari belakang, “Abang becak …?”
      Ya, kudapati ia tengah lahapnya menyuap potongan terakhir pisang goreng di tangannya. Sementara tangan satunya tetap memegang kemudi. “walah, puasa-puasa begini seenaknya saja dia makan,” gumamku. Rasa penasaranku semakin menjadi ketika ia mengambil satu lagi pisang goreng dari kantong plastik yang disangkutkan di dekat kemudi becaknya, dan untuk kedua kalinya saya menelan ludah menyaksikan pemandangan yang bisa dianggap tidak sopan dilakukan pada saat kebanyakan orang tengah berpuasa.
  
“mmm …, Abang muslim bukan?” tanyaku ragu-ragu.
 “Ya neng, saya muslim …” jawabnya terengah sambil terus mengayuh.
“Tapi kenapa abang tidak puasa? abang tahu kan ini bulan ramadhan. Sebagai muslim seharusnya abang berpuasa. Kalau pun abang tidak berpuasa, setidaknya hormatilah orang yang berpuasa. Jadi abang jangan seenaknya saja makan di depan banyak orang yang berpuasa …” deras aliran kata keluar dari mulutku layaknya orang berceramah.

      Tukang becak yang kutaksir berusia di atas  lima puluh tahun itu menghentikan kunyahannya dan membiarkan sebagian pisang goreng itu masih menyumpal mulutnya. Sesaat kemudian ia berusaha menelannya sambil memperhatikan wajah garangku yang sejak tadi menghadap ke arahnya.

“Dua hari pertama puasa kemarin abang sakit dan tidak bisa narik becak. Jujur saja neng, abang memang tidak puasa hari ini karena pisang goreng ini makanan pertama abang sejak tiga hari ini, ditambah lagi pendapatan abang yang pas-pasan. Tanpa memberikan kesempatan ku untuk memotongnya.
 “Tak perlu ajari abang berpuasa, orang-orang seperti kami sudah tak asing lagi dengan puasa,” jelas bapak tukang becak itu.
“Maksud bapak?” mataku menerawang menunggu kalimat berikutnya.
“Dua hari pertama puasa, orang-orang berpuasa dengan sahur dan berbuka. Kami berpuasa tanpa sahur dan tanpa berbuka. Kebanyakan orang seperti neng berpuasa hanya sejak subuh hingga maghrib, sedangkan kami kadang harus tetap berpuasa hingga keesokan harinya …”
 “Jadi …” belum sempat kuteruskan kalimatku,
“Orang-orang berpuasa hanya di bulan ramadhan, padahal kami terus berpuasa tanpa peduli bulan ramadhan atau bukan …”
“Abang sejak siang tadi bingung neng mau makan dua potong pisang goreng ini, malu rasanya tidak berpuasa. Bukannya abang tidak menghormati orang yang berpuasa, tapi…”  kalimatnya terhenti seiring dengan tibanya saya di tempat tujuan.

     Sungguh Saya jadi menyesal telah menceramahinya tadi. Tidak semestinya saya bersikap demikian kepadanya. Seharusnya saya bisa melihat lebih ke dalam, betapa ia pun harus menanggung malu untuk makan di saat orang-orang berpuasa demi mengganjal perut laparnya. Karena jika perutnya tak terganjal mungkin roda becak ini pun tak kan berputar …
Ah, kini seharusnya saya yang harus merasa malu dengan puasa saya sendiri? Bukankah salah satu hikmah puasa adalah kepedulian? Tapi kenapa orang-orang yang dekat dengan saya nampaknya luput dari perhatian dan kepedulian saya?
Tak terasa aku pun hampir sampai di depan rumahku,
 “sudah bang di sini saja, ini uangnya”
“Wah, nggak ada kembaliannya neng…”
“Hmm, simpan saja buat sahur Bapak besok ya …”
“Terima kasih neng, semoga Allah membalas semua kebaikan neng” (Rasa bahagia pun menyelimuti wajahnya, lalu ia membalikkan becaknya dan pergi sambil mengayuh becaknya kembali. Sungguh hati ini begitu tersentuh mendengar cerita abang becak tadi meskipun sudah renta tetapi beliau masih semangat menjalankan propesinya itu. Demi menopang segala kebutuhan hidupnya,yang tak sesekali keberuntungan menyertai dirinya).
*****

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

1 komentar:

Write komentar
21 September 2015 pukul 07.51 delete

Mengapa harus malu? Perkataan kamu udah benar dengan menegurnya karena tidak berpuasa, karena puasa ramadhan adalah puasa wajib bahkan merupakan salah satu rukun islam, maka sama saja ketika kamu menegur orang yang tidak melaksanakan sholat karena kaki nya sakit, jadi tetap saja itu wajib ain alias individu.
kembali ke kronologisnya, jika memang si bapak itu lapar dan ingin memakan pisang itu, mengapa tidak sembunyi dari orang-orang yang sedang berpuasa? atau bisa memakan pisang itu sebelum narik kamu ke rumah mu.

*Correct Me If I'm Wrong

Reply
avatar